Minggu, 13 Juli 2008

KiSS Pra-MM (KiSah SePuTaR StuDent)


Apa yang di dunia ini tanpa batas?
Mungkin hanya ada satu jawaban absolut... CINTA.
Cinta itu lintas struktural..
Cinta itu lintas Kultural....
Cinta itu memiliki sejuta rasa..
Cinta itu tak kenal waktu,tempat dan warna..
Cinta itu...tak terdefinisikan....
Seperti yang terjadi belakangan ini di Student Pra MM Batch 49..
Cinta telah menunjukkan keberadaannya...
Cinta yang tanpa batas...yang hanya terjadi tanpa disadari..
Antara dua manusia di atas..
Berikan komentar anda...dan dukung cinta mereka...dengan suaramu..

Sabtu, 12 Juli 2008

Malam Pertama


Ada sepasang pengantin baru berada di kamar pengantin, di malam pertama. Pada tengah malam pertama itu, tiba-tiba isterinya mengerang, “Adui.. Sakitnya bang… ! Macam mana nkisah malam pertamai bang..?” Suaminya lantas menenangkan isterinya, “Jangan nangis Sayang.. Nanti emak ayah dengar.. Mereka mungkin belum tidur lagi tu..” Kebetulan bilik mertua hanya bersebelahan kamar tidur pengantin. Isterinya teresak-esak mengerang “… Sakitnya Bang”

Tapi kerana tidak dapat menahan sakit, isterinya tambah kuat mengerang. Mahu tidak mahu, si suami pun berkata, kali ini kuat sedikit suaranya: “Sabar Sayang! Tahan saja.. Esok baru cabut.”

Sejak dari tadi si mertua lelaki masih belum tidur. Dia memang terdengar anak perempuannya mengerang, tadi dia tidak peduli, biasalah malam pengantin, fikirnya. Tapi kali ini dia sudah hilang sabar. Dia bangun, pergi ke bilik sebelah lantas menendang pintu kamar pengantin.

Dengan rasa geram si ayah mertua berteriak: “Ni apa kena ni? Tak faham ke? Anak aku boleh mati kalau besok baru kau nak cabut! CABUT SEKARANG JUGA!” …

Terkejut besarlah kedua pengantin tu. Sambil tersipu-sipu pengantin perempuan pun berkata kepada ayahnya: “Abah, takkan sakit gigi pun boleh mati.. Lagipun manalah ada Klinik Gigi yang buka 24 jam?”

Abuse Transfer Pricing

Bukan rahasia umum untuk meminimalisasi pajak, perusahaan sering melakukan transfer pricing guna memaksimalkan keuntungan. Bagi kalangan pebisnis, pajak tetap saja dipandang sebagai beban yang mengurangi kecil keuntungan.
Atas dasar itu wajar jika mereka merekayasa suatu transaksi untuk meminimalisasi beban pajak dengan transfer pricing. Transfer pricing merupakan terminologi yang secara umum merujuk pada upaya rekayasa alokasi keuntungan antarbeberapa perusahaan dalam satu grup perusahaan multinasional. Secara keseluruhan yang terpenting dari akhir kegiatan adalah laba setelah pajak dari grup.
Transfer pricing menyebabkan ketidakadilan dalam perpajakan karena perbedaan struktur perusahaan. Perusahaan yang dipecah-pecah menjadi suatu grup dapat merekayasa laba sehingga meminimalkan pajak. Sementara itu, perusahaan tunggal harus membayar pajak seperti apa adanya. Untuk menegakkan keadilan perpajakan dimaksud, buku Tax Law Design and Drafting terbitan IMF 1996, merekomendasikan dua pendekatan. Pertama, dengan merumuskan dalam ketentuan domestik, suatu negara dapat mengambil laba global grup dan mengalokasikan sebagian laba tersebut berdasar formula tertentu kepada sumber yang berada di negaranya dan kemudian memajaki bagian laba dimaksud.
Kedua, suatu negara dapat menentukan laba dari cabang usaha (bentuk usaha tetap) atau anak perusahaan yang beroperasi di negaranya terpisah dari grup berdasar harga yang wajar yang seharusnya terjadi apabila transaksi dilakukan dengan pihak di luar grupnya (arm's length price).
Dari kedua pendekatan tersebut, UU Pajak Penghasilan (PPh) menyebut pendekatan kedua (pendekatan harga dan laba wajar- arm's length profits). Hal ini sejalan dengan praktik pemajakan internasional yang berterima umum dan dianjurkan untuk negara-negara anggota OECD.
Pasal 18 ayat (2) UU PPh menegaskan pemberlakuan arm's length price dan profit tersebut dengan memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menghitung kembali laba fiskal dan menentukan utang sebagai modal, apabila terdapat transaksi antara pihak yang terdapat hubungan istimewa. Untuk operasionalisasi Pasal 18 ayat (2) dimaksud. diterbitkan SE No.04/PJ.7/1993. Nampaknya Surat Edaran ini merujuk pada Pedoman Transfer Pricing OECD tahun 1979.
Subtansi dalam Surat Edaran tersebut lebih bersifat normatif, sehingga operasionalisasi dalam praktik mengalami kesulitan. Hal ini dapat dimaklumi karena kondisi dan istrumen pendukung upaya mengatasi transfer pricing di Indonesia masih langka. Data pembanding harga, biaya dan laba kotor dari dunia perdagangan, industri dan sektor lainya sulit didapatkan. Sehingga kebanyakan koreksi dari pemeriksaan atas transfer pricing dengan mudah dapat dipatahkan oleh wajib pajak di Pengadilan Pajak.